Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. Organisasi ini didirikan sebagai tanggapan terhadap perubahan sosial, politik, dan keagamaan yang terjadi di dunia Islam pada awal abad ke-20, khususnya yang berhubungan dengan gerakan modernisasi dan puritanisme yang berkembang di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Berikut adalah ringkasan sejarah berdirinya NU:

Latar Belakang Pendirian NU

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dunia Islam mengalami banyak perubahan. Salah satu perubahan besar adalah munculnya gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan Rasyid Ridha. Gerakan ini berusaha untuk mereformasi Islam dengan kembali kepada Al-Quran dan Hadis serta menolak berbagai praktik keagamaan yang dianggap bid’ah (inovasi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang asli).

Di Indonesia, yang pada waktu itu masih dikenal sebagai Hindia Belanda, pengaruh gerakan pembaruan ini juga mulai dirasakan. Banyak tokoh-tokoh Islam di Indonesia yang mendukung ide pembaruan ini, yang kemudian berkontribusi pada terbentuknya organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah pada tahun 1912. Muhammadiyah berfokus pada purifikasi (pemurnian) ajaran Islam dan menghapuskan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Hadis.

Namun, tidak semua umat Islam di Indonesia setuju dengan pendekatan purifikasi ini. Banyak dari kalangan ulama tradisional yang mengikuti mazhab Syafi’i dan menjalankan praktik-praktik keagamaan lokal yang telah menjadi bagian dari tradisi Islam di Indonesia. Para ulama ini merasa bahwa gerakan pembaruan tersebut terlalu keras dan tidak menghargai keragaman budaya dan tradisi Islam yang telah berkembang di Nusantara.

Pendiri dan Awal Mula Pembentukan NU

Di tengah-tengah situasi tersebut, beberapa ulama terkemuka di Jawa merasa perlu untuk mendirikan suatu organisasi yang dapat menjaga dan mempertahankan ajaran Islam tradisional ala Ahlus Sunnah wal Jamaah dan juga mazhab Syafi’i. Salah satu ulama terkemuka yang sangat berpengaruh pada saat itu adalah Kiai Haji Hasyim Asy’ari. Beliau adalah ulama yang sangat dihormati dan memiliki banyak santri serta jaringan yang luas di kalangan ulama di Jawa dan Madura.

Pada tahun 1924, K.H. Hasyim Asy’ari bersama beberapa ulama lainnya mendirikan Nahdlatul Wathan, sebuah gerakan yang bertujuan untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan kesadaran berbangsa di kalangan umat Islam. Setelah itu, pada tahun 1926, beliau dan beberapa ulama lain merasa perlu untuk mendirikan organisasi yang lebih formal guna menjaga ajaran Islam tradisional.

Pembentukan Nahdlatul Ulama

Pada tanggal 31 Januari 1926, di rumah K.H. Wahab Hasbullah di Surabaya, para ulama sepakat untuk mendirikan Nahdlatul Ulama. Organisasi ini didirikan dengan tujuan untuk memelihara, mengembangkan, dan mempertahankan ajaran Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sesuai dengan mazhab Syafi’i serta menjunjung tinggi tradisi keislaman yang sudah berkembang di Indonesia.

Nama “Nahdlatul Ulama” sendiri berarti “kebangkitan ulama”, yang mencerminkan semangat organisasi ini untuk membangkitkan dan memperkuat peran ulama dalam masyarakat. K.H. Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Rais Akbar atau pemimpin tertinggi pertama dari organisasi ini.

Peran dan Pengaruh NU dalam Perjuangan Kemerdekaan

Sejak awal pendiriannya, NU tidak hanya fokus pada masalah keagamaan, tetapi juga turut serta dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. NU mengambil peran aktif dalam pergerakan nasional dengan memberikan dukungan moral dan material kepada para pejuang kemerdekaan. Pada tahun 1937, NU resmi bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebuah aliansi organisasi-organisasi Islam di Indonesia yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), NU bersama organisasi-organisasi Islam lainnya berusaha memanfaatkan situasi untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, NU mendukung penuh Pemerintah Republik Indonesia yang baru terbentuk.

Kontribusi NU dalam Pembentukan Negara dan Sosial-Budaya

Setelah Indonesia merdeka, NU terus memainkan peran penting dalam kehidupan sosial-politik dan keagamaan di Indonesia. NU terlibat dalam Konstituante yang bertugas menyusun UUD baru, meskipun pada akhirnya UUD 1945 yang tetap dipertahankan sebagai konstitusi negara. NU juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial, pendidikan, dan ekonomi, dengan mendirikan banyak pesantren, sekolah, rumah sakit, dan lembaga-lembaga sosial lainnya.

Pada tahun 1952, NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik sendiri, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (PNU). PNU berpartisipasi dalam pemilu pertama Indonesia pada tahun 1955 dan berhasil meraih suara yang cukup signifikan, menunjukkan pengaruh kuat NU di masyarakat.

Namun, pada tahun 1984, NU memutuskan untuk kembali ke khittah 1926, yang berarti kembali fokus pada bidang keagamaan dan sosial budaya dan tidak lagi terlibat dalam politik praktis. Keputusan ini dibuat untuk menjaga kemurnian dan tujuan awal NU serta menghindari perpecahan di kalangan umat Islam akibat persaingan politik.

NU di Era Modern

Hingga saat ini, NU terus berkembang menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di dunia, dengan jutaan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia dan luar negeri. NU tetap berkomitmen untuk menjaga dan mengembangkan ajaran Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah, memperkuat pendidikan keagamaan, serta mempromosikan perdamaian, toleransi, dan kebhinekaan di Indonesia.

NU juga telah memainkan peran penting dalam dialog antaragama dan antarbudaya, baik di dalam negeri maupun di kancah internasional. Organisasi ini sering terlibat dalam berbagai kegiatan kemanusiaan dan pembangunan, serta aktif dalam advokasi isu-isu keadilan sosial, demokrasi, dan hak asasi manusia.

Dengan sejarah panjangnya yang penuh dengan kontribusi bagi agama, bangsa, dan negara, Nahdlatul Ulama tetap menjadi salah satu pilar penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Organisasi ini tidak hanya mempertahankan tradisi keislaman yang khas Indonesia, tetapi juga terus beradaptasi dengan dinamika sosial, politik, dan budaya yang berkembang, tetap relevan dan berpengaruh di tengah perubahan zaman.